Minggu, 27 November 2011

PERUSAHAAN MULTINASIONAL


PERUSAHAAN MULTINASIONAL 
Perusahaan Multinasional telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menjalankan kebijakan dan aturan baik di tingkat national maupun internasional. Di negara-negara berkembang, hampir setiap aspek dari kehidupan komunitas telah terkena dampak dari operasi Perusahaan Multinasional.Perusahaan multinasional atau PMN adalah perusahaan yang berusaha di banyak negara; perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan seperti ini memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor cabang di banyak negara. Mereka biasanya memiliki sebuah kantor pusat di mana mereka mengkoordinasi manajemen global.

Perusahaan multinasional yang sangat besar memiliki dana yang melewati dana banyak negara. Mereka dapat memiliki pengaruh kuat dalam politik global, karena pengaruh ekonomi mereka yang sangat besar bagai para politisi, dan juga sumber finansial yang sangat berkecukupan untuk relasi masyarakat dan melobi politik.

Karena jangkauan internasional dan mobilitas PMN, wilayah dalam negara, dan Negara sendiri, harus berkompetisi agar perusahaan ini dapat menempatkan fasilitas mereka (dengan begitu juga pajak pendapatan, lapangan kerja, dan aktivitas ekonomi lainnya) di wilayah tersebut. Untuk dapat berkompetisi, negara-negara dan distrik politik regional seringkali menawarkan insentif kepada PMN, seperti potongan pajak, bantuan pemerintah atau infrastruktur yang lebih baik atau standar pekerja dan lingkungan yang memadai.

Perusahaan multinasional pada dasarnya adalah sebuah perusahaan raksasa yang menjalankan, memiliki serta mengendalikan operasi bisnis atau kegiatan-kegiatan usahanya di lebih dari satu Negara. Perusahaan multinasional ini umumnya berupa perusahaan yang dikelola oleh lebih dari sebuah negara, dan oleh karena kekuatan ekonominya yang besar, ia mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan perekonomian suatu negara dengan sangat luas.

Dari sudut pandang sejarah, model perusahaan seperti ini mulai bermunculan sejak dekade 50. perusahaan-perusahaan multinasional, terutama di AS, semakin aktif di beberapa bidang, setelah terpengaruh oleh kondisi perekonomian di zaman itu. Dengan memanfaatkan sistem transportasi dan komunikasi internasional yang semakin modern, demikian pula karena adanya “celah” antara hubungan Eropa dan Jepang, perusahaan-perusahaan ini menemukan peluang untuk menjual produk-produk mereka ke luar batas-batas AS. Tak lama kemudian, perusahaan-perusahaan Eropa mengikuti jejak langkah mereka ini, sehingga menjadi semakin luaslah keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional ini.




Terdapat dua karakteristik pokok dari perusahaan multinasional, yakni ukuran mereka yang sangat besar dan kenyataan bahwa operasi bisnis mereka yang tersebar ke seluruh dunia itu cenderung dikelola secara terpusat oleh para pemimpinnya di kantor pusatnya yang berkedudukan di Negara asal. Ukuran mereka yang sedemikian besar tentu memberikan kekuatan ekonomi (dan terkadang juga kekuatan politik) yang sangat besar, sehingga mereka merupakan kekuatan utama (sekitar 40%) yang menyebabkan berlangsungnya globalisasi perdagangan duniua secara pesat. Dengan kekuatan yang begitu besar, merekalah yang sebenarnya seringkali mendominasi aneka komoditi dagang di Negara-negara berkembang (tembakau, mie, bubur gandum instant, dsb).

Dari gambaran ini, maka bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan ekonomi (dan terkadang politik) yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaa multinasional tersebut, apalagi jika dibandingkan dengan pemerintahan di Negara-negara berkembang di mana mereka menjalankan bisnisnya. Kekuatan mereka ini juga ditunjang lagi oleh posisi oligopolitik yang mereka genggam dalam perekonomian domestic atau bahkan internasional pada sektor atau jenis-jenis produk yang mereka jalankan.

Dampak perusahaan multinasional

Dewasa ini kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional di bidang ekonomi dan politik dunia, terasa sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan multinasional yang “menancapkan kukunya” juga tentu saja memberikan implikasi kepada, saya sebut sebagai, Negara yang di’ekspansi’nya, baik dampak positif maupun dampak negatifnya.

Dampak positif pertama yang paling sering disebut-sebut sebagai sumbangan positif penanaman modal asing ini adalah, peranannya dalam mengisi kekosongan atau kekurangan sumber daya antara tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah actual “tabungan domestik” yang dapat dimobilisasikan.
Dampak positif kedua adalah, dengan memungut pajak atas keuntungan perusahaan multinasional dan ikut serta secara financial dalam kegiatan-kegiatan mereka di dalam negeri, pemerintah Negara-negara berkembang berharap bahwa mereka akan dapat turut memobilisasikan sumber-sumber financial dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan secara lebih baik.

Dampak positif ketiga adalah, perusahaan multinasional tersebut tidak hanya akan menyediakan sumber-sumber financial dan pabrik-pabrik baru saja kepada Negara-negara miskin yang bertindak sebagai tuan rumah, akan tetapi mereka juga menyediakan suatu “paket” sumber daya yang dibutuhkan bagi proses pembangunan secara keseluruhan, termasuk juga pengalaman dan kecakapan manajerial, kemampuan kewirausahaan, yang pada akhirnya nanti dapat dimanifestasikan dan diajarkan kepada pengusaha-pengusaha domestic.

Dampak positif keempat adalah, perusahaan multinasional juga berguna untuk mendidik para manajer local agar mengetahui strategi dalam rangka membuat relasi dengan bank-bank luar negeri, mencari alternative pasokan sumber daya, serta memperluas jaringan-jaringan pemasaran sampai ke tingkat internasional.

Dampak positif kelima adalah, perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang tentu saja dinilai sangat maju dan maju oleh Negara berkembang mengenai proses produksi sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada Negara-negara dun ia ketiga.

Selain dampak positif yang telah dikatakan diatas, tentu saja dalam pelaksanaan kegiatan ekonominya, perusahaan multinasional juga mempunyai dampak negatif yang terjadi pada Negara tamu. Pada umumnya pasar yang menjadi sasaran pemasaran perusahaan multinasional ini memang adalah Negara-negara yang notabenenya adalah Negara-negara yang sedang berkembang atau Negara-negara dunia ketiga. Hal ini mereka lakukan karena Negara-negara dunia ketiga ini dinilai belum mempunyai perlindungan yang baik atau belum mempunyai “kekuatan” yang cukup untuk menolak “kekuatan” daripada perusahaan-perusahaan raksasa multinasional ini sehingga bukan tidak mungkin mereka bisa melakukan intervensi terhadap pemerintahan yang dilangsungkan oleh Negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain Negara-negara ini menghadapi dilema di mana sebagian besar negara terlalu lemah untuk menerapkan prinsip aturan hukum, dan juga perusahaan-perusahaan raksasa ini sangat kuat menjalankan kepentingan ekonomi untuk keuntungan mereka sendiri.

Kemudian kita juga harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan mutinasional ini tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu Negara. Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan atau tingkat hasil financial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan. Perusahaan-perusahaan multi nasional ini senantiasa mencari peluang ekonomi yang paling menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi perhatiam kepada soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan pengangguran. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional hanya sedikit memperkerjakan tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung terpusat di sector modern yang mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal yaitu di daerah perkotaan.








Selain tidak bisa diharapkan untuk ikut membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan di Negara tuan rumah, mereka bahkan seringkali memberi pengaruh negative terhadap tingkat upah rata-rata, karena mereka biasanya memberikan gaji dan aneka tunjangan kesejahteraan yang jauh lebih tinggi ketimbang gaji gaji rata-rata kepada para karyawannya, baik itu yang berasal dari Negara setempat atau yang didatangkan dari Negara-negara lain. Di atas telah dikatakan bahwa keuatan mereka juga ditunjang oleh posisi oligopolitik yang mereka genggam dalam perekonomian domestik atau bahkan internasional pada sektor atau jenis-jenis produk yang mereka geluti. Hal ini bertolak berlakang dari keyataan bahwa mereka cenderung beroperasi di pasar-pasar yang dikuasai oleh beberapa penjual dan pembeli saja.
Situasi seperti ini memberi mereka kemampuan serta kesempatan yang sangat besar untuk secara sepihak menentukan harga-harga dan laba yang mereka kehendaki, bersekongkol dengan perusahaan lainnya dalam membagi daerah operasinya serta sekaligus untuk mencegah atau membatasi masuknya perusahaan-perusahaan baru yang nantinya dikhawatirkan akan menjadi saingan mereka.
Hal-hal tersebut mereka upayakan dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki dalam penguasaan teknologi-teknologi baru yang paling canggih dan efisien, keahlian-keahlian khusus, diferensiasi produk, serta berbagai kegiatan periklanan secara gencar dan besar-besaran untuk mempengaruhi, kalau perlu mengubah, selera dan minat konsumen. Kemudian walaupun dampak-dampak awal (berjangka awal) dari penanaman modal perusahaan multinasional memang dapat memperbaiki posisi devisa Negara yang menerima mereka (Negara tuan rumah), tetapi dalam jangka panjang dampak-dampaknya justru negatif, yakni dapat mengurangi penghasilan devisa itu, baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. Neraca transaksi berjalan bisa memburuk karena adanya impor besar-besaran atas barang-barang setengah jadi dan barang modal oleh perusahaan multinasional itu, dan hal tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya pengiriman kembali keuntungan hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa manajemen ke Negara asalnya. Jadi praktis pihak Negara tuan rumah tidak memperoleh bagian keuntungan yang adil dan wajar.
Selain itu perusahaan-perusahaan multinasional berpotensi besar untuk merusak perekonomian tuan rumah dengan cara menekan timbulnya semangat bisnis para usahawan local, dan menggunakan tingkat penguasaan pengetahuan teknologi mereka yang superior, jaringan hubungan luar negeri yang luas dan tertata baik, keahlian dan agresivitas di bidang periklanan, serta penguasaan atas berbagai berbagai jenis jasa pelengkap lainnya untuk mendorong keluar setiap perusahaan local yang cukup potensial yang dianggap mengganggu atau mengancam dalam kancah persaingan, dan sekaligus untuk menghalangi munculnya perusahaan-perusahaan baru yang berpotensi untuk menjadi saingan mereka. Perusahaan-perusahaan multinasional juga sering menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk mempengaruhi, menyuap, dan memanipulasi berbagai kebijakan pemerintah di Negara tuan rumah ke arah yang tidak menguntungkan bagi pembangunannya.


Dampak Negatif Perusahaan Multinasional
Alasan utama banyaknya negara berhati-hati sebelum mengizinkan operasi suatu perusahaan multinasional di negaranya adalah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak menyebutkan  6 dampak ini di dalam bukunya,
Terhadap negara asal
1.      Hilangnya sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan multinasional mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar negeri.
2.      Ekspor teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan-lahan akan melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya mengancam perekonomian negara bersangkutan.
3.      Kecenderungan praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan perpajakan
4.      Mempengaruhi kebijakan moneter domestik.
Terhadap negara tuan rumah:
1.      Keengganan cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu produk karena negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
2.      Mempengaruhi kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
3.      Budaya konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya konsumsi konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit-unit usaha tradisional.
Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih banyak mengingat masalah ini adalah masalah yang kompleks. Mulai dari politik yang mempengaruhinya, belum lagi bidang lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik di bidang sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Penanggulangan Dampak negatif Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya akan tetap dan selalu bersifat  profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah dalam kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan multinasional. Program-program penanggulangan dampak negative, bisa dicontohkan asuransi kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri), jamsostek, reservasi lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena sifat profit orientednya tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap shareholder. Sehingga tidak akan tercapai titik temu antara tujuan perusahaan dengan tujuan masyarakat. Disinilah pemerintah mengambil peranannya. Namun, tidak selamanya hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah apalagi pemerintah yang korup. Demi peningkatan usaha penanggulangan dampak negatif MNC, harus dicari akar masalah dari hambatan atas penanggulangan ini. Ekonom dan peraih nobel, Joseph E stiglitz dalam bukunya Making Globalization Works (2006) mengemukan 4 dilema yang dialami perusahaan sehingga mereka sebenarnya tidak mau melakukan usaha penanggulangan dampak negatif atas aktivitas yang mereka lakukan.
1.      Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.
2.      Kompetisi. Ini mengakibatkan perusahaan harus melakukan operasi seefisien mungkin dengan cara menghasilkan untung yang sebesar-besarnya dan menekan biaya dalam waktu singkat agar dapat tetap survive. Dalam kondisi seperti ini, tentu perusahaan akan menghindari segala biaya yang tidak esensial bagi operasi seperti, misalkan biaya pembangunan rumah sakit bagi warga sekitar.
3.      Kekuatan ekonomi dan politik, mengingat kekuatan peusahaan multinasional yang luar biasa secara ekonomi dan politik, perusahaan semacam ini bisa saja “membeli” negara-negara yang memang sedang membutuhkan modal dari mereka. Contohnya Freeport di Papua dan Exxon di Aceh. Dilema akan terjadi karena semakin perusahaan ini berperan dalam pembangunan sosial ekonomi semakin pembangunan ditentukan oleh praktik-praktik untuk memenuhi interest dari perusahaan tersebut. Misalnya Freeport memang membangun rumah-rumah sakit,jalan sekolah, tetapi warga sekitar tetap mengeluh. Mereka mengeluh karena kenyataannya fasilitas-fasilitas tersebut untuk melayani kepentingan pegawai dan staf perusahaan saja.
4.      Kolusi perusahaan-pemerintah. Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi kepada para birokrat, baik daerah maupun pusat untuk membuat undang-undang yang memenuhi interest dan kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya untuk melakukan lobi-lobi ini melebihi biaya investasi lainnya. Perusahaan perminyakan seringkali mengurangi biaya kompensasi dan konservasi alam dengan cara menyuap pejabat publik. Lagipula kebijakan tersebut adalah banyak dipengaruhi  pejabat publik dan perusahaan saja, tetapi minim partisipasi masyarakat sehingga tidak jarang mengabaikan hak-hak publik. Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di Indonesia, “Dalam 20 tahun berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak transparan—dan pemindahan paksa komunitas lokal—berlanjut pada 1995, anggota-anggota masyarakat memahami untuk pertama kalinya bahwa, menurut sumber-sumber pemerintah, mereka telah menyerahkan tanah-tanah ulayat di wilayah Timika (hampir 1 juta hektar) kepada pemerintah untuk penempatan transmigrasi, termasuk kota Timika dan lokasi Freeport yang baru, Kuala Kencana.”


Contoh
§  Adidas
§  Allianz
§  AOL
§  AT&T
§  BMW
§  Dell
§  Enron
§  Exxon
§  Fiat
§  Google
§  Honda
§  HSBC
§  Hyundai
§  IBM
§  KFC
§  Freeport Indonesia ; Pembangunan untuk siapa ? Berkah Atau Bencana ?



Pada saat ini, masih lekang dingatan kita tentang kasus pertikaian berdarah yang terjadi di tanah papua antara kaum asli papua yang merasa sebagai pemilik tanah yang asli sebagai kaum yang termarginalkan di tanahnya sendiri, dengan salah satu perusahaan multinasional yang beroperasi di daerah papua yaitu PT. Freeport Indonesia (FI). Warga yang bertikai menuntut penutupan PT. FI karena dinilai tidak memberikan keuntungan yang adil bagi warga local. Menurut mereka, sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat 1969 dilaksanakan, Pepera telah melenceng jauh dari amanat rakyat Papua. Kemudian, kontrak yang dilakukan Pemerintah Indonesia bersama PT. FI mereka nilai tidak mengakomodasi hak rakyat Papua.

Mereka menilai otonomi khusus belum mampu meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat rakyat, apalagi menciptakan lapangan kerja yang produktif. Kebijakan pemekaran yang sewaktu itu digembar-gemborkan juga dianggap upaya “memecah belah”. Mengapa mereka menggugat PT. FI? Di tempat beroperasinya perusahaan tambang yang makmur itu, sekelompok rakyat Papua malah menjadi pencari remah-remah sisa pada pembuangan tailing. Ironisnya, permukiman dan tempat mereka hidup dan bersosial, yakni hutan dan gunung, telah hancur. Gugatan terhadap situasi ini sebenarnya sudah lama dilancarkan, tetapi selalu menghadapi tantangan pelanggaran hak asasi manusia.

Lokasi pertambangan Freeport berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali ditemukan seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 1936. Kemudian ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. Freeport pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 1973, proyek pertambangan dan Kota Tembagapura ini diresmikan Presiden Soeharto.

Setelah sekian lama dilakukan ekplorasi dan tentunya eksploitasi, kandungan tembaga semakin berkurang. Tapi pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput atau dikenal dengan nama Grasberg. Di daerah ini, kandungannya jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini diketahui sekitar 2,16 hingga 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 hingga 200.000 ton biji emas/tembaga. Melihat potensi itu, Freeport memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991 yang memberikan hak kepada Freeport selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 X 10 tahun. Ini berarti KK II itu akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang, maka akan berakhir 2041 nanti. Sehingga setelah 35 tahun, tepatnya tahun 2041 barulah Freeport kembali menjadi milik Indonesia.

Lalu pertanyaannya, siapa yang menikmati hasil Freeport selama ini? Sebab sumbangan ke APBN hanya Rp2 triliunan, saham pemerintah hanya 9,36 persen, sisanya milik asing. Tentu saja yang mendapat keuntungan besar ini, mereka yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan itu. Menurut kantor berita Reuters (“PR”, 18/3 2006) dinyatakan bahwa para petinggi Freeport paling tidak menerima Rp126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp87,5 miliar lebih per bulan dan President Directornya, Andrianto Machribie menerima Rp15,1 miliar per bulan. Di samping itu, juga bagi para pejabat Orba yang menangani Freeport turut menikmatinya. Sebab, bukan tak mungkin KK I dan II diwarnai dengan berbagai permainan “sulap”.

Walau memang sejak Juli 1996, ada dana satu persen dari laba kotor perusahaan bagi warga lokal di Kabupaten Mimika, khususnya tujuh suku di dalam kawasan wilayah konsesi Freeport. Tapi jelas tak seberapa dibanding jumlah hasil tambang yang telah dikeruk dari perut “ibu” (sebutan perumpamaan gunung biji emas bagi orang Amungme terhadap Ertsberg dan Grasberg). Terus yang tak bisa dipungkiri, dana ini menjadi sumber konflik internal diantara mereka. Apalagi dana itu disinyalir sebagai media peredam setelah ada kerusuhan Maret 1996. Bahkan sempat Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) awalnya menolak menerima dana itu. Sementara warga lokal dari adat lain yang ada di sekitar perusahaan merasa berhak juga atas dana itu. Intinya: ada ketidakpuasan, ketidakadilan, dan pengelolaan yang tak profesional.

Tapi sejatinya, konflik-konflik sekitar Freeport telah dimulai sejak perusahaan itu berdiri. Misalnya,  saat persiapan awal proyek Freeport sekitar 1960-1973 telah terjadi konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan soal pengakuan identitas dan pandangan hidup yang berhubungan dengan alam yang mereka anggap keramat. Misalnya gunung-gunung berselimut salju (Nemangkawi atau panah putih) yang telah dikeruk itu merupakan tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang mereka ketika meninggal dunia. Terus yang perlu diingat pula, konflik pertama terjadi saat tim ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 meminta bantuan masyarakat sekitar membawa barang-barang keperluan rombongan (porter), tetapi mereka tak dibayar. Kekecewaan dan merasa ditipu ini bisa menjadi awal konflik.

Konflik berikutnya yang dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat tahun 1974. Isinya menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan masyarakat Suku Amungme dalam kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik perusahaan  dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga Freeport telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat semakin tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja). Konflik-konflik berkaitan dengan January Agreement terus saja berlanjut sampai pembentukan Lemasa tahun 1992. Konflik lainnya dipicu soal kerusakan lingkungan yang semakin parah.


Papua memiliki 42 juta hektar hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, seperti bahan tambang, minyak dan gas bumi, serta hutan dan laut yang berlimpah. Walaupun kekayaan alam itu sudah dieksploratif secara ekstraktif selama puluhan tahun, rakyat Papua yang bejumlah sekitar dua juta jiwa masih tergolong penduduk termiskin di republik ini. Ironisnya, ketika sumber daya alam mereka menghasilkan uang bertriliun-triliun, sekitar 80 % penduduknya masih hidup pada tingkat subsisten. Masih banyak warga yang hanya memakai koteka. Data Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2004 menunjukkan penduduk miskin di Papua pada tahun 2002 mencapai 39 %. Angka ini akan menjadi lebih besar karena sebagian besar penduduk miskin ini berada pada warga asli yang jumlahnya sekitar 60 % dari total jumlah penduduk provinsi ini. Dalam laporan Conservation Internasional Indonesia 2004 dikatakan warga Papua mempunyai tingkat kesehatan yang memprihatinkan, angka kematian bayi di Papua cukup tinggi, yaitu 100 per seribu kelahiran bayi hidup.

Angka itu hampir tidak berubah sesudah otonomi khusus. Angka kematian ibu juga paling tinggi di negeri ini, yaitu 60-700 per 100.000 kelahiran. Selain itu tingkat harapan hidup juga rendah. Dari sisi pendidikan, 44,13 % warga Papua buta huruf. Ketidakseimbangan dalam bagi hasil penerimaan dan pengelolaan sumber daya alam dianggap sebagai biang keladi kemiskinan dan ketertinggalan ini. Padahal, ketika republik ini mengalami krisis, produk domestk regional bruto (PDRB) Papua melonjak dari Rp. 9 triliun pada tahun 1997 menjadi Rp. 19 triliun pada tahun 1998. ini disebabkan total nilai tambah dari sector pertambangan meningkat 38 %. Padahal, Papua merupakan propinsi dengan tingkat PDRB kempat tertinggi stelah Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur.

Sejak 3 tahun yang lalu, angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali lipat kemiskinan tingkat nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu, penduduk miskinnya mencapai 32,75 %. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalaim kemiskinan sepanjang tahun. Sektor pendidikan yang semestinya menjadi sektor paling dasar, ternyata hanya membuat hati terenyuh. Di pedalaman-pedalaman, sekolah-sekolah nyaris tidak memiliki guru. Sistim sekolah hancur. Akibatnya sekolah-sekolah sering diliburkan. Walaupun ada kebijakan penerapan dana 1 persen dari PT. FI untuk masyarakat sekitar, namun trenyata dana tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Dana kompensasi 1 persen berawal ketika pemerintah pusat, pemerintah Irian Jaya, dan PT. FI merancang pola pembangunan masyarakat untuk memecahkan proses pembangunan di Mimika. PT FI berkomitmen untuk mengalokasikan dana sebesar 1 persen dari pendapat kotor tahunan selama 10 tahun guna mendukung program tersebut. PT FI yang beroperasi sejak 1967 mulai mengucurkan dana tersebut pada tahun 1996. Dana itu ditangani Tim Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2). Masyarakat sendiri mendirikan Yayasan Tujuh Suku (terdiri dari suku Amungme, Kamoro, Moni, Lani, Damal, Mee / Ekari, Nduga).
Tiap suku mengelola dana tersebut secara sendiri-sendiri. Nyatanya uang menjungkirbalikan kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Kebersamaan yantg menjadi perilaku dasar pun mulai tergerogoti setelah mengenal uang.

Sepanjang sepuluh tahun ini (1996-2005), dana 1 persen yang telah dikucurkan PT FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591 (190.847.906 US$). Jika tahun 1996, dana 1 persen itu sejumlah 25 miliar, maka pada tahun 2005 Rp. 393 miliar (tabel). Sebagian besar dana itu digunakan untuk sektor pendidkan dan kesehatan. Sebagai contoh, tahun 2005 dana pendidikan sebesar Rp. 63,32 miliar (24 %) dan dana kesehatan Rp. 70,61 miliar (27 %). Sektor lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu antara lain pengembangan ekonomi dan pengambangan desa, dukungan adat, dukungan agama, serta manajemen dan kapital dengan jumlah yang variatif.

Tahun
Dalam US$
Dalam Rupiah
1996
10.810.150
25.208.728.000
1997
12.742.915
38.751.186.601
1998
16.625.288
179.704.641.750
1999
21.117.015
158.043.612.470
2000
13.504.330
117.256.285.550
2001
17.317.229
179.636.056.710
2002
18.313.298
172.305.938.178
2003
21.841.766
189.037.735.585
2004
18.041.433
161.838.029.479
2005
40.534.482
393.853.618.268
Total
190.847.906
1.615.635.852.591














Penerimaan dana 1 persen (1996-2005)
Hingga kini, masih ada yang menilai Freeport belum memberi keadilan bagi pemilik sumber daya alam yang mereka keruk selama ini. Sehingga kasus – kasus seperti itu seakan tak pernah berhenti. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam surat keputusannya bernomor 08/MRP/2006 Tentang Keberadaan PT Freeport Indonesia yang berisi empat poin, salah satunya merekomendasi kepada pemerintah agar Freeport ditutup. Sebab mereka menilai, kasus Freeport bukan hal baru. Sejak ditandatanganinya MoU antara pemerintah Indonesia dengan pihak manajemen Freeport di tahun 1967, terhitung banyak kasus yang terjadi. Dari isu penembakan komunitas lokal oleh aparat keamanan di lokasi pertambangan itu hingga perusakan ekosistem yang dilakukan perusahaan. Secara kasat mata, fenomena konflik sekitar Freeport memberikan sebuah gambaran menarik dicermati. Berbagai konflik yang berkaitan dengan eksistensi Freeport di Kabupaten Mimika itu, bukanlah merupakan satu fenomena baru. Sebab tak mustahil konflik ini imbas ketidakberesan penanganan perusahaan MNC selama ini sebagai warisan kebijakan pemerintah Orde Baru (Orba).


Menurut John Nakiaya, Sekretaris Eksekutif  Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), lembaga yang kini mengelola kompensasi dana 1 persen itu mengatakan bahwa alokasi dana itu tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa fasilitas public, antara lain rumah sakit (RS) Mitra Masyarakat, RS Waa-Banti, Puskesmas pembantu di aroanap dan Tsinga. Sarana itu diberikan gratis bagi warga tujuh suku itu. Di bidang pendidikan, selain pembangunan infrastruktur, pengelolaan asrama, dukungan transportasi dan bahan makanan bagi guru di daerah terpencil, dana 1 persen itu juga disalurkan sebagai beasiswa bagi 5.464 pelajar atau mahasiswa tujuh suku itu yang tersebar di berbagai kota.
Nopirin,  Ph.D dalam bukunya ekonomi internasional jilid 3 mengungkapkan setidaknya  ada 5 cara dalam hal pengaturan  perusahaan multinasional demi penghindaran efek buruk yang mungkin terjadi:
1.      Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan meliputi penilaian tentang kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional di masa yang akan datang terhadap politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Jika penilaian ini menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk atau dengan kata lain kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka perusahaan multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
2.      Penentuan sektor-sektor tertentu yang sudah tertutup untuk investasi asing  atau penentuan pemilikan, sehingga memberi peluang pada wiraswasta local untuk ikut melakukan kegiatan atau mengambil keputusan.
3.      Negara penerima dapat mengatur kegiatan perusahaan multinasional dengan cara membatasi bahan yang diimpor, penentuan harga produk, pengaturan tentang kredit, pemilikan serta pengaturan tentang efeknya terhadap lingkungan.
4.      Negara penerima melakukan pengaturan tentang keuntungan yang boleh dikirimkan kembali ke negara induk.
5.      Negara penerima dapat melakukan nasionalisasi perusahaan multinasional. Biasanya ini adalah tindakan terakhir yang dilakukan suatu negara dan harus dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan minat investor untuk berinvestasi di masa-masa yang akan datang.




Pada kenyataannya, memang suatu negara  tidak akan membiarkan perusahaan multinasional untuk sertamerta masuk dan beroperasi di wilayahnya. Akan banyak terdapat pembatasan-pembatasan. Negara Kanada misalnya, saat ini menerapkan tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap anak atau cabang perusahaan asing, termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah saham yang dikuasai warga Kanada kurang dari 25%. India secara ketat membatasi sector-sektor industry yang boleh menerima penanaman modal asing secara langsung. Beberapa negara berkembang bahkan tidak memperbolehkan perusahaan yang sahamnya dikuasai 100% oleh pihak asing.
Kesimpulan

Akhir dekade 1990-an ini merupakan periode yang menarik bagi kita untuk menilai kembali segala dampak kualitatif maupun kuantitatif yang ditimbulkan oleh investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa multinasional terhadap kondisi social-ekonomi Negara-negara berkembang yang bertindak sebagai tuan rumahnya. Tetapi perusahaan multinasional atau transnasional bisa menjadi bencana nasional karena rawan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan bisa menjadi kekuatan penghambat proses demokratisasi di negara-negara sedang berkembang.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Emmy Hafild mengemukakan hal itu dalam diskusi bertema, “Tanggung Jawab Transnational Corporations dalam HAM” yang diselenggarakan Komisi Nasional HAM, Rabu (21 November 2006) di Jakarta.  Emmy berpendapat, ada kecenderungan kuat, para pemimpin pemerintahan atau negara di negara-negara berkembang tunduk pada kekuatan modal perusahaan-perusahaan transnasional. “Jadi, jangan heran bila banyak kebijakan pemerintah soal perburuhan misalnya, lebih memihak kepentingan perusahaan transnasional,” tegasnya.  Menurut Emmy, dimana pun, perusahaan-perusahaan multinasional selalu berusaha menggunakan setiap celah untuk mendikte norma internasional. “Dan nyatanya berhasil,” tuturnya. Emmy mengatakan, perusahaan multinasional di Tanah Air lebih banyak menimbulkan berbagai kerusakan daripada keuntungan. Berbagai kerusakan itu antara lain, perampasan tanah, penghancuran tradisi, perampasan hak penduduk atas lingkungan hidup yang sehat, penghancuran sumber daya alam, serta pelecehan seksual.





Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, keterlibatan masyarakat sangat esensial dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi saat ini masih terbatas dan masih belum menjadi suatu gerakan. Untuk mendorong partisipasi masyarakat, dibutuhkan suatu wahan untuk menyebarkan suatu informasi mengenai pembangunan berkelanjutan dan isu lingkungan global. Selain itu, kata Rachmat, diperlukan penguatan jejaring masyarakat untuk dapat berperan dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.


Terkait dengan kasus yang terjadi di Papua, mungkin solusi yang perlu dimanifestasikan di dalam masyarakat itu sendiri adalah berupa pola alokasi dana ke titik tertentu mungkin perlu dikembangkan ke kelompok-kelompok yang lebih kecil, mengingat suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan itu hidup dalam kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah terisolasi sehingga dampak yang terjadi lebih dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Barang kali satu-satunya kesimpulan yang cukup sahih untuk dikemukakan di sini adalah bahwasannya penanaman modal swasta asing bisa merupakan pendorong pembangunan ekonomi dan social yang penting selama kepentingan-kepentingan perusahaan multinasional tersebut memang sejalan dengan kepentingan pemerintah dan masyarakat di Negara tuan rumah (tentu saja yang dimaksudkan dengan kepentingan di sini bukanlah kepentingan yang pada akhirnya menyebabkan berlarut-larutnya pembangunan yang dualistis serta memburuknya ketimpangan distribusi pendapatan). Namun, selama perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya melihat kepentingan mereka dari segi output secara global atau maksimalisasi keuntungan saja tanpa memperdulikan dampak-dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh segenap aktivitas bisnisnya terhadap kondisi-kondisi ekonomi dan social di wilayah-wilayah operasinya, maka selama itu pula tuduhan-tuduhan dari pihak yang menentang penanaman modal asing akan semakin mendapatkan dukungan di kalangan pemerintah maupun masyarakat di Negara-negara dunia ketiga.